Hakekat Perkembangan dan Tujuan Supervisi Pendidikan

Hakekat Perkembangan dan Tujuan Supervisi Pendidikan 
Pendidikan di sekolah adalah merupakan salah satu dari tri pusat pendidikan, di samping pendidikan dalam keluarga dan pendidikan dalam masyarakat (Dewantara.1977). Pendidikan di sekolah merupakan suatu sistem pendidikan yang dilakukan dan diorga-nisasikan secara formal. Sekolah sebagai organisasi pendidikan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks, di dalamnya terdiri dari berbagai komponen yang mempunyai tugas dan fungsi secara sendiri-sendiri maupun saling berkaitan satu sama lainnya, dan berproses dalam rangka mencapai tujuannya.

Untuk dapat berfungsi dan berprosesnya berbagai komponen sekolah tersebut secara efektif dalam mencapai tujuan pendidikan, maka berbagai fungsi manajemen dalam lembaga pendidikan sekolah supaya dilakukan secara benar. Fungsi-fungsi manajemen yang dimaksudkan diantaranya adalah fungsi perencanaan, pengorgasian, komunikasi, pengarahan, kepemimpinan, pengawasan, evaluasi, monitoring, dan ber-bagai fungsi yang lainnya. 

Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen tersebut khususnya fungsi pengawasan dalam penyelenggarakan pendidikan di sekolah dikenal dengan istilah supervisi pendidikan. Istilah supervisi dalam bidang pendidikan secara nasional mulai diperkenalkan sejak tahun 1975 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975. Kemudian dalam perkembangannya, tampaknya pada setiap pergantian kurikulum, supervisi dianggap sebagai bagian dari pelengkap pedoman kurikulum (Depdikbud. 1976), walaupun kata supervisi dianggap tidak mengandung makna yang sesuai dalam bidang pendidikan, karena diberi pemaknaan pembinaan, yaitu pembinaan professional guru sesuai dengan sistem pembinaan professional (SPP) sebagai hasil dari proyek Cianjur 1984 (Depdikbud. 1986). 

Tampaknya dalam hubungan ini kata pembinaan itu sendiri hanya lebih dikenal di kalangan praktisi seperti kepala sekolah, dan pengawas, dan sebaliknya kurang dikenal oleh guru, karena para guru merasa lebih familiar dengan istilah supervisi. Namun demikian secara akademis apapun istilah yang digunakan untuk supervisi pendidikan bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Karena tugas pengawas dan supervisor dalam konteks pendidikan, dan pengajaran memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah: (1) tujuannya memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru, (2) berfungsi sebagai monitoring, (3) kegiatannya memiliki fungsi manajemen, (4) berorientasi pada tujuan pendidikan. Kemudian perbedaannya adalah bahwa kepengawasan lebih menekankan pada upaya untuk menemukan penyimpangan atau hambatan dari rencana yang telah ditetapkan, sedangkan supervisi lebih menekankan pada upaya-upaya membantu guru untuk perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.

Supervisi pendidikan pada awalnya lebih bersifat umum karena dilakukan untuk memonitor berbagai kegiatan yang dilaksanakan di sekolah. Karena itu seringkali kesalahan para personil sekolah akan lebih banyak dieksploitasi dan ditonjolkan, bahkan jika melebihi batas atau melanggar suatu aturan atau kebijakan akan membawa konsekwensi seseorang personel tertentu dapat diberikan sangsi sampai pada pemecatan. Itulah sebabnya supervisi pada waktu itu lebih banyak dikonotasikan sifatnya lebih melecehkan supervisi dengan ungkapan snoopervision atau penembak jitu.

Kemudian lebih lanjut dalam perkembangannya konsepsi supervisi lebih ditekankan kepada perbaikan proses belajar mengajar guru, sehingga para ahli membagi supervisi menjadi supervisi umum yaitu kegiatan supervisi yang ditujukan pada penunjang keberhasilan proses belajar mengajar, seperti sarana dan parasarana dan lingkungannya yang berupa gedung, ruang kelas, media, alat-alat pelajaran, kafetaria, dan transfortasi dan tidak bersifat administratif. Kemudian supervisi pengajaran yang lebih bersifat khusus untuk membantu guru dalam bidang studi tertentu. Dalam hubungan ini kemudian Poerwanto (2006) memperjelas pengertian dan fungsi supervisor tersebut sebagai mitra guru, inovator, konselor, motivator, kolaborator, evaluator serta konsultan guru dalam meningkatkan proses belajar mengajarnya.

Berdasarkan konsepsi bahwa supervisi untuk membantu guru dalam bidang studi tertentu, maka supervisi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk perbaikan proses belajar mengajar. Ada dua tujuan yang harus diwujudkan dari supervisi pendidikan itu, yaitu: (1) perbaikan atau peningkatan pembelajaran, dan (2) peningkatan mutu pendidikan. 

Konsepsi supervisi kemudian lebih memfokus pada kegiatan PBM, sehingga supervisi diberikan pengertian sebagai setiap layanan yang diberikan kepada guru, yang hasil akhirnya adalah untuk peningkatan atau perbaikan pengajaran guru, pembelajaran murid, dan perbaikan kurikulum (Neagley dan Evans. 1980). Supervisi sebagai usaha untuk mendorong, mengkoordinasikan, dan menuntun pertumbuhan guru-guru secara berkesi-nambungan di suatu sekolah, baik secara individu maupun secara kelompok dalam pengertian yang lebih baik, dan tindakan yang lebih efektif dalam fungsi pengajaran sehingga mereka dapat mampu untuk mendorong dan menuntun pertumbuhan setiap siswa secara berkesinambungan menuju partisipasi yang cerdas dan kaya dalam kehidupan masyarakat demokratis modern (Boardman, dkk. 1961), nilai supervisi terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada perkem-bangan para siswa (Mark, dkk.1974). Sehubungan dengan tujuan, manfaat dan nilai dari supervisi pengajaran tersebut sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka permasyalahan lainnya yang tampaknya juga perlu dibahas adalah apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat menjadi pengawas

Pengawas secara akademik adalah bisa bersifat formal yang berasal dari luar sekolah, yaitu kalau pengawas tersebut ditunjuk secara legal oleh Dinas Pendidikan pada tingkat kabupaten, provinsi, dan tingkat kecamatan, dan ada juga supervisor yang berasal dari dalam sekolah sendiri, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para ketua unit, dan para guru bidang studi yang sudah senior (Pidarta. 1986). Kemudian seseorang yang dapat diangkat menjadi supervisor terutama yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan sesuai dengan Permen Pendidikan Nasional RI No.12 Tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah/ madrasah, untuk tingkat SMA harus memenuhi kualifikasi: (1) memiliki pendidikan minimum Magister (S2) Kependidikan dengan berbasis Sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran pada perguruan tinggi yang terkreditasi, (2) guru SMA bersertifikat pendidik sebagai guru dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMA, atau kepala sekolah SMA dengan pengalaman kerja empat tahun, untuk menjadi pengawas sesuai dengan rumpun mata pelajarannya, (3) memiliki pangkat minimum penata, golongan ruang III/c, (4) berusia setinggi-tingginya 50 tahun sejak diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan, (5) memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalaui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah, (6) lulus seleksi pengawas satuan pendidikan. 

Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Pendidikan
Pengawas secara akademik bisa bersifat formal dan informal. Pengawas formal adalah pengawas yang diangkat oleh dinas pendidikan tingkat provinsi, kabupaten, dan tingkat kecamatan berasal dari luar sekolah. Pengawas informal adalah pengawas yang bersal dari dalam sekolah sendiri, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para ketua unit, dan para guru bidang studi yang sudah senior (Pidarta. 1986). Kedua jenis pengawas tersebut harus memiliki kompetensi kepenga-wasan. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki meliputi: (1) kemampuan mengembangkan kurikulum, (2) mengorganisasikan pengajaran, (3) menyiapkan staf pengajar, (4) menyiapkan fasilitas belajar, (5) menyiapkan bahan-bahan pelajaran, (6) menyelenggarakan penataran guru-guru, (7) memberikan konsultasi dan membina anggota staf pengajar, (8) mengkordinasikan layanan terhadap para siswa, (10) mengembangkan hubungan dengan masyarakat, dan (11) menilai pelajaran (Neagley dan Evans. 1980).

Tampaknya semua komptensi yang disebutkan di atas berkaitan dengan pengem-bangan kurikulum. Secara lebih legal persyaratan kompetensi pengawas telah dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah yaitu Permendiknas No.12 Tahun 2007. Kompetensi yang dituntut terhadap seorang pengawas adalah (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi supervisi manajerial, (3) kompetensi supervisi akademik, (4) kompetensi evaluasi pendidikan, (5) kompetensi penelitian pengembangan, dan (6) kompetensi sosial.

Demikian juga aspek-aspek yang dimonitoring dalam pelaksanaan supervisi akademik adalah mencakup membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan, membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan, mem-bimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), mem-bimbing guru dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, laboratorium atau lapangan, membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran, memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi. 

Agar seorang pengawas dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tampak-nya di samping dituntut memiliki kompetensi seperti yang diuraikan di atas juga dilengkapi dan didukung dengan berbagai pemahaman dan pengayaan yang lain, seperti: prinsip-prinsip, metode, dan teknik supervisi. Seorang pengawas harus dapat merencanakan program supervisi dan melaporkan hasilnya.

Prinsip-prinsip, Metode dan Teknik-teknik Supervisi Pendidikan 
Seorang pengawas akan dapat melakasanakan tugasnya dengan baik apabila dalam melaksanakan tugasnya berpegang dan berpedoman pada prinsip-prinsip supervisi. Prinsip-prinsip sepervisi yang dimasudkan adalah:
  1. Prinsip ilmiah. Prinsip ini bercirikan bahwa kegiatan supervisi tersebut hendaknya berlandaskan pada data obyektif yang diperoleh dari kenyataan yang dialami oleh guru dalam proses belajar mengajar guru. Untuk memperoleh data tersebut diper-lukan berbagai alat perekam data, seperti angket, lembar observasi, cheklist, pedoman wawancara, dan yang lainnya. Ciri yang lainnya adalah dilakukan secara sistematis, berencana, dan berkelanjutan.
  2. Prinsip demokrasi. Prinsip ini mengharapkan bahwa di dalam pelaksanaan tugas supervisi dilandasi oleh suatu hubungan kemanusiaan yang akrab dan hangat, menjumjung tinggi harga diri dan martabat guru, berdasarkan kesejawatan, bukan berdasarkan pada hubungan atasan dan bawahan.
  3. Prinsip kerja sama. Prinsip ini mengembangkan usaha bersama, memberi dukung-an, menstimulasi, sehingga guru merasa bertumbuh. 
  4. Prinsip konstruktif dan kreatif. Supervisor harus mampu mengembangkan dan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara-cara yang menakutkan (Sahertian. 2000., Wijono. 1989., Hariwung.19890).
Prinsip-prinsip supervisi yang diuraikan di atas dalam pelaksanaannya sebaiknya didukung dengan menggunakan metode dan beberapa teknik yang dapat digunakan oleh seorang pengawas agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Metode supervisi yang dimaksudkan adalah metode langsung dan tidak langsung (Ametembun. 1975). Metode langsung merupakan suatu cara dimana seorang penga-was secara pribadi langsung dapat berhadapan dengan guru yang disupervisi baik secara individu maupun secara kelompok. Kemudian metode tidak langsung apabila seorang pengawas dalam melaksanakan fungsinya dengan menggunakan alat peran-tara atau media terhadap guru yang disupervisinya. 

Demikian pula yang dimaksud dengan teknik supervisi tersebut ada yang disebut dengan teknik individual, seperti kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan pribadi, saling mengunjungi kelas, menilai diri sendiri, dan ada pula teknik supervisi bersifat kelompok, seperti: rapat guru, studi kelompok antar guru, diskusi sebagai proses kelompok, tukar menukar pengalaman, lokakarya, diskusi panel, seminar, simposium, demontrasi, perpustakaan jabatan, buletin supervisi, membaca langsung, mengikuti kursus, organisasi jabatan, perjalanan sekolah untuk staf sekolah (Sahertian dan Mataheru. 1982). Pemilihan terhadap salah satu metode supervisi tersebut akan berkaitan erat dengan penggunaan suatu teknik supervisi. Pemilihan dan penggunaan metode supervisi langsung misalnya dapat digunakan secara bersamaan dengan teknik supervisi kunjungan kelas, pertemuan individual, dan rapat guru. 

Demikian pula pemilihan dan penggunaan metode supervisi tidak langsung, dapat digunakan secara bersamaan dengan teknik supervisi, misalnya, buleletin supervisi, papan pembinaan, angket, dan televisi. Dalam hubungan dengan pemilihan metode dan teknik supervisi tersebut ada pendapat yang menekankan pada penggunaan metode langsung dan teknik individual, bahkan lebih jauh menyatakan bahwa pengawas dinyatakan belum melakukan kegiatan supervisi apabila tidak menggunakan teknik individual. Dengan demikian seorang supervisor tersebut haruslah melakukan kunjungan kelas, observasi, dan percakapan, karena dengan kunjungan kelas inilah kelemahan dan kelebihan guru dalam mengajar dapat dideteksi (Neagley dan Evans. 1980). 

Berbagai Pendekatan dalam Supervisi Pendidikan
Kemudian dalam pengembangan supervisi pengajaran untuk dapat mencapai tujuannya secara efektif seorang supervisor dapat menggunakan berbagai pendekatan yang memiliki pijakan ilmiah, yaitu supervisi saintifik, artistik, dan klinik (Sahertian. 2000). Supervisi saintifik memiliki ciri-ciri: (1) dilaksanakan secara berencana dan kontinyu, (2) sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, (3) menggunakan instrumen pengumpulan data, dan (4) data obyektif yang diperoleh dari keadaan riil, dan dianalisis. Supervisi artistik memandang bahwa mengajar itu adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan suatu kiat. Lebih jauh dijelaskan bahwa supervisi bekerja menyangkut untuk orang lain, melalui orang lain. 

Oleh karena itu pekerjaan supervisi akan berhasil apabila ada kerelaan, kepercayaan, saling mengerti, dan saling mengakui dan menerima orang sebagaimana adanya, sehingga orang lain merasa aman dan mau maju. Supervisi klinik pada mulanya diperkenalkan oleh Moris L. Cogan, Robert Goldhammer, dan Richard Weller di Universitas Harvard pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan (Krajewski.1982). Supervisi klinik dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan dalam mensupervisi calon guru yang berperaktek mengajar. Penekanannya adalah pada klinik atau dalam pengobatan dan penyembuhan, yang diwujudkan dalam bentuk tatap muka antara supervisor dengan calon guru. Supervisi klinik lebih memusatkan perhatiannya pada perilaku guru yang aktual di kelas.

Demikian juga pada tahun 80 an dalam perkembangan supervisi pengajaran menggunakan pendekatan yang bertitik tolak pada pijakan psikologi belajar, yaitu psikologi behavioral, humanistik, dan kognitif. Psikologi behavioral memandang belajar sebagai kondisioning individu dengan dunia di luar dirinya. Belajar adalah hasil peniruan atau latihan-latihan yang memperoleh ganjaran jika berhasil dan hukuman jika gagal. Psikilogi humanistik berdasarkan pemikiran bahwa belajar adalah hasil keingintahuan individu untuk menemukan rasionalitas dan keteraturan di alam ini, sehingga belajar dipandang sebagai proses pembawaan yang berkembang (terbuka). Guru menunjang keingintahuan individu dari hasil belajar melalui self-discovery. Psikologi kognitif berpendapat bahwa belajar adalah hasil keterpaduan antara interaksi kegiatan individu dengan dunia di luar dirinya. Belajar dianggap sebagai proses tindakan timbal balik antara guru dan murid. Belajar dianggap sebagai proses tindakan timbal balik antara guru dan murid, antara murid atau obyek yang dimanipulasi.

Berdasarkan pendekatan di atas, supervisi dirumuskan sebagai proses perba-ikan dan peningkatan kelas dan sekolah melalui kerjasama secara langsung dengan guru. Untuk itu, maka supervisor perlu memilih kegiatan supervisinya yang sesuai dengan tujuan perbaikan atau peningkatan pembelajaran tertentu. Pemilihan kegiatan supervisi yang bersumber dari pandangan mendasar itu menjadikan supervisi lebih kokoh karena memiliki pijakan ilmiah dan lebih efektif. Dengan memperhatikan tahapan perkembangan guru itu, tokohnya Carl D. Glickman menyebutnya supervisi perkembangan. 

Di sisi lain perlu juga disadari bahwa essensi dari supervisi tersebut adalah proses bantuan, oleh karena itu maka bantuan supervisi tersebut sebaiknya diberikan apabila diperlukan oleh guru-guru. Pengembangan masing-masing model supervisi pengajaran yang disebut dengan supervisi direktif, supervisi kolaboratif, dan supervisi non direktif secara lebih lengkapnya akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.

a. Supervisi Pengajaran Direktif
Supervisi direktif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa mengajar terdiri dari keterampilan teknis dengan standar dan kompetensi yang telah ditetapkan dan diketahui untuk semua guru agar pengajarannya efektif. Pendekatan supervisi pengajaran direktif oleh Sutjipto dan Raflis Kosasi (1999) disebut juga dengan pendekatan supervisi pengajaran berdasarkan kompetensi. Peran supervisor dalam menerapkan pendekatan direktif ini adalah mengimformasikan, mengarahkan, menjadi model, dan menilai kompetensi yang telah ditetapkan.

Langkah-langkah dalam supervisi dengan pendekatan direktif tersebut dimulai dengan: (1) pre conference, (2) observasi, (3) analisa dan interpretasi, (4) post conference, (5) post analysis, dan (6) diskusi (Sahertian. Ida Aleida Sahertian. 1990). Langkah-langkah ini yang semestinya dilakukan oleh seorang supervisor, yang dalam hal ini bisa jadi dilakukan oleh seorang pengawas terhadap guru-guru, ataupun oleh seorang kepala sekolah terhadap guru-guru dalam rangka meningkatkan kompe-tensinya dalam mengajar.

Pre conference dilakukan oleh supervisor untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan dapat memilih permasalahan apa yang dihadapi oleh guru-guru, sehinggga seorang mengetahui dan mempunyai masalah apa saja yang akan diobservasinya, yangn lebih lanjut akan dapat menetapkan tindakan apa yang akan dapat dilaksanakan.

Observasi, pada tahap ini supervisor berada di dalam kelas dan mengadakan observasi. Dalam melaksanakan observasi tersebut seorang supervisor mengamati perilaku siswa dari awal sampai akhir pelajaran. Untuk lebih mudahnya dalam melakukan supervisi alat yang berupa cheklist dapat digunakan, dan sudah tentunya berbagai perilaku siswa lainnya yang dianggap perlu juga dapat dan perlu dicatat.

Analisa dan interpretasi, data yang didapat dalam melakukan observasi dibuatkan semacam tabulasi data tentang perilaku siswa, sehingga lebih lanjut data tersebut dapat dianalisis sehingga dapat diambil suatu kesimpulan terhadap perilaku siswa tersebut. Kesimpulan dari hasil analisis tersebut akan dapat menyimpulkan bahwa bisa jadi perilaku siswa tersebut bisa positif ataupun negatif. Dalam proses pembelajaran selanjutnya berbagai perilaku negatif siswa tersebut perlu diperbaiki. Berdasarkan pada hasil analisis data observasi tersebut akan dapat disimpulkan bahwa guru tersebut sering mengalami kesulitan dalam menghadapi perilaku siswa, dan kondisi ini sangat perlu harus diberitahukan dan diketahui oleh guru.

Post conference, dalam kegiatan ini supervisor dengan guru kembali memba-has cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh guru, membuat rencana pembelajaran sebagai perbaikannya yang akan didemonstrasikan oleh pengawas, menetapkan jadwal observasi berikutnya setelah demonstrasi.

Post analysis, dalam kegiatan ini dilaksanakan kembali evaluasi terhadap penerapan berbagai contoh yang telah diberikan dan dilakukan oleh supervisor dalam melaksanakan demosntrasi mengajar, yang lebih lanjut akan dicontoh dan dilaksna-kan oleh guru. Kemudian lebih lanjut menetapkan program yang akan diambil pada masa-masa berikutnya.

Diskusi, sebagai langkah terakhir dari pendekatan direktif ini, maka dibahas beberapa hal, (1) menjelaskan masalah-masalah guru sehingga dapat dipahami dengan jelas, (2) menampilkan ide-ide tentang informasi yang seharusnya dikumpulkan dan bagaimana mengumpulkannya, (3) mengarahkan dan memberi petunjuk kepada guru mengenai usaha apa yang diperlukan sesudah terkumpul dan dianalisa, (4) mendemon-trasikan kepada guru bagaimana mengajar yang baik, agar guru mau saling mengunjungi dalam mengajar, (5) menstandarkan tolak ukur yang digunakan untuk dasar perbaikan, dan (6) meyakinkan atau menguatkan dengan berbagai cara untuk memberikan dorongan psychologis. (Sahertian. Ida Aleida Sahaertian. 1990). 

b. Supervisi Pengajaran Kolaboratif.
Supervisi kolaboratif adalah pendekatan yang didasarkan atas asumsi bahwa mengajar pada dasarnya adalah pemecahan masalah, dalam pendekatan ini ada dua orang atau lebih orang ikut serta mengemukakan sebuah hipotesis sebuah masalah, eksperimen, dan mengimplementasikan strategi mengajar itu, yang dianggap lebih relevan dengan lingkungan sendiri. Peran supervisor membimbing ke proses peme-cahan masalah, para anggota aktif dalam interaksi dan menjaga agar guru tetap memusatkan perhatiannya pada masalah mereka. Penerapan pendekatan supervisi kolaboratif ini oleh Sutjipto dan Raflis Kosasi (1999) disebut juga supervisi klinis.

Dalam pendekatan kolaboratif supervisor dan guru merupakan teman sejawat dalam memecahkan masalah-masalah pengajaran di kelas. Masalah-masalah tersebut seringkali dipusatkan pada : (1) kesadaran dan kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas mengajar, (2) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan dalam mengajar, yang meliputi keterampilan dalam menggunakan variasi dalam mengajar dan menggunakan stimulus, keterampilan dalam melibatkan siswa dalam proses belajar, serta keterampilan dalam mengelola kelas dan disiplin siswa.

Dalam melaksanakan supervisi dengan menggunakan pendekatan kolaboratif sebaiknya melalui lima langkah, yaitu: (1) pembicaraan praobservasi, (2) melaksa-nakan observasi, (3) melakukan analisis dan menetapkan strategi, (4) melaksanakan pembicaraan tentang hasil supervisi, dan (5) melakukan analisis setelah pembicaraan.

Pelaksanaan pembicaraan praobservasi disebut juga engan istilah pembicaraan pendahuluan. Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana keterampilan apa yang akan diobservasi atau dicatat. Pada tahap ini memberikan kesempatan kepada supervisor dan guru untuk mengientifikasi keteram-pilan mana yang memerlukan perbaikan. Keterampilan yang dipilih kemudian dioperasionalkan dalam bentuk rumusan tingkah laku yang dapat diamati. Dalam pertemuan ini pula dibicarakan dan ditentukan jenis data apa ang akan dicatat selama pembelajaran berlangsung. Dala pembicaraan pra-observasi ini memerlukan komuni-kasi terbuka, sehingga tercipta ikatan kolegial antara supervisor dan guru yang harmonis. Terdapat lima masalah yang harus dicermati dalam pembicaraan pendahu-luan ini, yaitu: menciptakan suasana yang akrab antara supervisor dengan guru, meneliti ulang rencana pelajaran serta tujuan pelajaran, mencermati kembali kom-ponen keterampilan yang akan dilatihkan dan diamati, memilih dan mengembangkan instrumen observasi, dan membicarakan bersama untuk mendapatkan kesepakatan tentang instrumen obsrvasi yang dipilih.

Pada tahap pelaksanaan observasi ini guru melakukan latihan dalam tingkah laku mengajar tertentu yang telah dipilih. Di sisi lain sementara guru berlatih, maka supervisor mengamati dan mencatat tingkah laku siswa, guru, interaksi antara guru dan siswa.

Supervisor mengadakan analisis terhadap hasil catatan-catatan observasi di kelas. Tujuannya adalah mengartikan data yang diperoleh dan selanjutnya merenca-nakan pertemuan dengan guru untuk menususn strategi pembelajaran selanjutnya. Dalam melakukan analisis, supervisor harus menggunakan kategorisasi perilaku mengajar dan melihat data yang dikumpulkan itu atas kategori yang ditetapkan.

Pembicaraan tentang hasil analisis ini adalah untuk memberikan balikan kepada guru dalam memperbaiki perilaku mengajarnya. Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam tahapan ini, yaitu: (1) menayakan perasaan guru secara umum, atau kesan umum guru ketika ia mengajar serta memberi penguatan, (2) mengamati kembali tujuan pembelajaran, (3) mencermati keterampilan serta perhatian utama guru, (4) menanyakan perasaan guru tenang jalannya pengajaran berdasarkan target, (5) menunjukan hasil data rekaman dan memberi kesempatan kepada guru menaf-sirkan data tersebut, (6) menginterpretasikan data rekaman secara bersama, (7) menanyakan perasaan guru setelah melihat rekaman data tersebut, (8) menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dan apa sebernarnya yang telah terjadi dan dicapai, dan (9) menentukan secara bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.

Lagkah yang terakhir dari pelaksanaan supervisi kinis tersebut adalah analisis sesudah pembicaraan. Dalam tahap ini supervisor haus meneliti ulang apa yang telah yang telah dilakukan dalam menetapkan kriteria perilaku mengajar yang ditetapkan dalam pra-observasi dan kriteria yang dipakai dalam melakukan observasi. Di samping itu, perlu dibicarakan hasil evaluasi diri tentang keberhasilan supervisor dalam membantu guru. Kegiatan ini akan mudah dilakukan apabila supervisor mempunyai catatan yang lengkap tentang proses kegiatan yang dilakukan, kalau mungkin sebaiknya direkam dengan video.

c. Supervisi Pengajaran Nondirektif
Supervisi nondirektif berasumsi bahwa belajar pada dasarnya adalah penga-laman pribadi dimana individu pada akhirnya harus menemukan pemecahan masalah sendiri untuk memperbaiki pengalaman murid di dalam kelas. Peran supervisor adalah mendengarkan, tidak memberikan pertimbangan, membangkitan kesadaran sendiri dan mengklarifikasikan pengalaman guru (Glickman. 1990). Supervisi nondi-rektif ini oleh Sutjipto dan Raflis Kosasi (1999) disebut juga dengan nama pendekatan humanistik. Pendekatan non direktif ini timbul dari keyakinan bahwa guru tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai alat semata-mata dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar. Dalam proses pembinaan guru mengalami perkembangan secara terus menerus, dan program supervisi harus dirancang untuk mengikuti perkembangannya. 

Tugas supervisor adalah membimbing guru-guru sehingga makin lama guru makin dapat berdiri sendiri dan berkembang dalam jabatannya dengan usaha sendiri. Belajar dilakukan melalui pemahaman tentang pengalaman nyata yang dialami secara real. Dengan demikian guru harus mencari sendiri pengalaman itu secara aktif. Dorongan dapat berasal dari yang bersifat fisiologis yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi dorongan yang bersifat dari dalam atau internal, yaitu karena guru-guru merasa bahwa belajar merupakan kewjiban yang harus dilakukan dalam tugasnya. Supervisor percaya bahwa guru mampu melakukan analisis dan memecahkan masalah yang dihadapinya dalam tugas mengajarnya. Guru merasakan adanya kebutuhan bahwa ia harus berkembang dan mengalami perubahan, dan ia bersedia mengambil tanggungjawab terjadinya dalam perubahan tersebut. Supervisor hanya befungsi sebagai fasilitator dengan menggunakan struktur formal sekecil mungkin.

Supervisor yang menggunakan pendekatan ini di dalam melaksanakan super-visi tidak ditunut untuk menggunakan format yang standar, tetapi agar dissuaikan dengan kebutuhan guru. Bisa jadi kegiatan supervisi tersebut hanya terbatas mela-kukan observasi saja tanpa dilanjutkan dengan melakukan analisis dan interpretasi, atau bisa jadi hanya melakukan komunikasi yang berupa mendengar penjelasan guru tanpa memberi sumber bahan belajar yang diminta guru. Walaupun secara umumnya dapat disebutkan bahwa pelaksanaan supervisi pengajaran dengan pendekatan non direktif tersebut ada tiga langkah, tetapi dapat secara lebih teknis dirinci sebagai berikut di bawah in.
  • Pembicaraan awal, pada saat ini supervisor memancing apakah dalam menga-jarnya guru tersebut mengalami masalah. Pembicaran tersebut dilakukan secara informal. Jika dalam pembicaraan tersebut guru tidak memerlukan bantuan, maka proses supervisi akan berhenti.
  • Observasi. Jika guru perlu, maka supervisor mengadakan observasi kelas. Dalam melaksanakan observasi tersebut supervisor duduk di belakang tanpa menggu-nakan catatan-catatan, supervisor hanya mengamati kegiatan kelas.
  • Analisis dan interpretasi. Setelah observasi dilakukan, supervisor kembali ke kantor memikirkan kemungkinan kekeliruan guru dalam melakasanakan proses belajarnya. Jika menurut supervisor, guru telah menemukan jawabannya maka supervisor tidak tidak perlu memberikan bantuannya. Apabila diminta oleh guru supervisor hanya menjelaskan dan melukiskan keadaan kelas tanpa dilengkapi dengan penilaian. Supervisor kemudian menanyakan kepada guru, apakah memerlukan saran, dan memberikan kesempatan untuk mencoba cara lain yang diperkirakan oleh guru lebih baik.
  • Pembicaraan akhir. Jika perbaikan telah dilakukan, pada periode tertentu guru dan supervisor mengadakan pembicaraan akhir, mengenai apa yang sudah dicapai oleh guru, dan menjawab pertanyaan kalau ada guru yang masih memerlukan bantuan lagi.
  • Laporan. Laporan disampaikan secara deskriptif dengan interpretasi berdasarkan penilaian supervisor. Laporan ini ditulis untuk guru, kepala sekolah, atau atasan kepala sekolah untuk perbaikan di masa selanjutnya. 
Pengembangan Prencanaan Program Supervisi Pendidikan
Dari uraian kompetensi supervisi akademik dan supervisi manajerial terutama pengawas Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah tersebut dapat diketahui bahwa supervisi pendidikan mencakup aspek-aspek pengawasan supervisi akademik yang dalam pelaksanaan supervisi akademik tersebut mencakup aspek-aspek monitoring dan membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan, membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan, membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), membimbing guru dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, laboratorium atau lapangan, membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran, memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi. 

Demikian pula supervisi manjerial adalah mencakup aspek-aspek pembinaan dan monitoring kepala sekolah dalam pengelolaaan dan administrasi satuan pendidikan, membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan konseling di sekolah, membimbing guru dalam menyusun silabus, membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi /metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembang-kan potensi siswa melalui mata pelajaran, membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling, mendorong guru dan kepala sekolah dalam merefleksikan hasil-hasil yang dicapainya untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksanakan tugas pokoknya, memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan, dan membantu kepala sekolah dalam mempersiapkan akreditasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Research, Riset atau Penelitian?

DEFINISI DAN KONSEP PEMBANGUNAN LEMBAGA

DEFINISI DAN PENGERTIAN MANAJEMEN